Rabu, 05 November 2014
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
adalah nabi pembawa risalah Islam, rasul terakhir penutup rangkaian nabi-nabi
dan rasul-rasul Allah Subhanahu Wa Ta’ala di muka bumi. Ia adalah salah seorang
dari yang tertinggi di antara 5 rasul yang termasuk dalam golongan Ulul Azmi
atau mereka yang mempunyai keteguhan hati (QS. 46: 35). Keempat rasul lainnya
dalam Ulul Azmi tsb ialah Ibrahim Alaihissalam, Musa
Alaihissalam, Isa Alaihissalam, dan Nuh Alaihissalam.
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah
anggota Bani Hasyim, sebuah kabilah yang paling mulia dalam suku Quraisy yang
mendominasi masyarakat Arab
. Ayahnya bernama Abdullah Muttalib, seorang kepala suku Quraisy yang
besar pengaruhnya. Ibunya bernama Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Baik
dari garis ayah maupun garis ibu, silsilah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam sampai kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam dan Nabi Ismail Alaihissalam.
Tahun kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam dikenal dengan nama Tahun
Gajah, karena pada
tahun
itu terjadi peristiwa besar, yaitu datangnya pasukan gajah menyerbu Mekah
dengan tujuan menghancurkan Ka’bah. Pasukan itu dipimpin oleh Abrahah, gubernur
Kerajaan Habsyi di Yaman. Abrahah ingin mengambil alih kota Mekah dan
Ka’bahnya sebagai pusat perekonomian dan peribadatan bangsa Arab. Ini sejalan
dengan keingin Kaisar Negus dari Ethiopia untuk menguasai seluruh tanah Arab,
yang bersama-sama dengan Kaisar Byzantium menghadapi musuh dari timur, yaitu Persia
(Irak).
Dalam
penyerangan Ka’bah itu, tentara Abrahah hancur karena terserang penyakit yang
mematikan yang dibawa oleh burung Ababil yang melempari tentara gajah. Abrahah
sendiri lari kembali ke Yaman dan tak lama
kemudian
meninggal dunia.
Peristiwa ini dikisahkan dalam Al-Qur’an surat
Al-Fîl: 1-5.
Beberapa bulan setelah penyerbuan tentara gajah,
Aminah melahirkan seorang bayi laki-laki, yang diberi nama Muhammad
. Ia lahir pada malam menjelang
dini hari Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 570 M.
Saat itu ayah Muhammad, Abdullah, telah meninggal dunia.
Nama Muhammad diberikan oleh kakeknya, Abdul
Muttalib. Nama itu sedikit ganjil di kalangan orang-orang Quraisy,
karenanya mereka berkata kepada Abdul Muttalib, “Sungguh di luar kebiasaan,
keluarga Tuan begitu besar
, tetapi tak satu pun yang bernama demikian.” Abdul
Muttalib menjawab, “Saya mengerti. Dia memang berbeda dari yang lain. Dengam
nama ini saya ingin agar seluruh dunia memujinya.”
Masa pengasuhan Haliman binti Abi Du’aib
as-Sa’diyah
Adalah suatu kebiasaan di Mekah, anak yang baru
lahir diasuh dan disusui oleh wanita desa dengan maksud supaya ia bisa
tumbuh dalam pergaulan masyarakat yang baik dan udara yang lebih bersih. Saat
Muhammad lahir, ibu-ibu dari desa Sa’ad datang ke Mekah menghubungi
keluarga-keluarga yang ingin menyusui anaknya. Desa Sa’ad terletak kira-kira 60
km dari Mekah, dekat kota Ta’if, suatu wilayah pegunungan yang sangat baik
udaranya.
di antara ibu-ibu tsb terdapat seorang wanita
bernama Halimah binti Abu Du’aib as Sa’diyah. Keluarga Halimah tergolong
miskin, karenanya ia sempat ragu untuk mengasuh Muhammad karena keluarga Aminah
sendiri juga tidak terlalu kaya. Akan tetapi entah mengapa bayi Muhammad sangat
menawan hatinya, sehingga akhirnya Halimah pun mengambil Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam sebagai anak asuhnya.
Ternyata
kehadiran Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sangat membawa berkah pada
keluarga
Halimah. Dikisahkan bahwa kambing
peliharaan Haris, suami Halimah, menjadi gemuk-gemuk dan menghasilkan susu
lebih banyak dari biasanya. Rumput tempat menggembala kambing itu juga tumbuh
subur. Kehidupan keluarga Halimah yang semula suram berubah menjadi bahagia dan
penuh kedamaian. Mereka yakin sekali bahwa bayi dari Mekah yang mereka asuh
itulah yang membawa berkah bagi kehidupan mereka.
Tanda-tanda kenabian
Sejak kecil Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam telah memperlihatkan keistimewaan yang
sangat luar biasa.
Usia 5 bulan ia sudah pandai berjalan, usia 9 bulan
ia sudah mampu berbicara. Pada usia 2 tahun ia sudah bisa dilepas bersama
anak-anak Halimah yang lain
untuk menggembala kambing. Saat itulah ia berhenti menyusu dan
karenanya harus dikembalikan lagi pada ibunya. Dengan berat hati Halimah
terpaksa mengembalikan anak asuhnya yang telah membawa berkah itu, sementara
Aminah sangat senang melihat anaknya kembali dalam keadaan sehat dan segar.
Namun tak lama setelah itu Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam kembali diasuh oleh Halimah karena terjadi wabah penyakit di
kota Mekah. Dalam masa asuhannya kali ini, baik Halimah maupun anak-anaknya
sering menemukan keajaiban di sekitar diri Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam. Anak-anak Halimah sering mendengar suara yang
memberi salam kepada Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, “Assalamu
‘Alaika ya Muhammad,” padahal mereka tidak melihat ada orang
di situ.
Dalam kesempatan lain, Dimrah, anak Halimah,
berlari-lari sambil menangis dan mengadukan bahwa ada dua orang bertubuh
besar-besar dan berpakaian putih menangkap Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam. Halimah bergegas menyusul Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Saat
ditanyai, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Ada 2 malaikat
turun dari langit. Mereka memberikan salam
kepadaku, membaringkanku, membuka bajuku, membelah
dadaku, membasuhnya dengan air yang
mereka bawa, lalu menutup kembali dadaku tanpa aku
merasa sakit.”
Halimah sangat gembira melihat keajaiban-keajaiban
pada diri Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam, namun karena kondisi ekonomi keluarganya
yang semakin melemah, ia terpaksa mengembalikan Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam, yang saat itu berusia 4 tahun, kepada ibu kandungnya di Mekah.
Dalam usia 6 tahun, Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam telah menjadi yatim-piatu. Aminah meninggal karena sakit
sepulangnya ia mengajak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berziarah ke makam
ayahnya. Setelah kematian Aminah, Abdul
Muttalib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam. Namun kemudian Abdul Muttalib pun meninggal, dan tanggung
jawab pemeliharaan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam beralih pada pamannya,
Abi Thalib.
Ketika berusia 12 tahun, Abi Thalib mengabulkan
permintaan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk ikut serta dalam
kafilahnya ketika ia memimpin rombongan ke Syam (Suriah). Usia 12 tahun
sebenarnya masih terlalu muda
untuk ikut dalam perjalanan seperti itu, namun dalam perjalanan ini
kembali terjadi keajaiban yang merupakan tanda-tanda kenabian Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam.
Segumpal awan terus menaungi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam sehingga panas terik yang membakar kulit tidak dirasakan
olehnya. Awan itu seolah mengikuti gerak kafilah rombongan Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam. Bila mereka berhenti, awan itu pun ikut berhenti. Kejadian ini
menarik perhatian seorang pendeta Kristen bernama Buhairah yang memperhatikan
dari atas biaranya di Busra. Ia menguasai betul isi kitab Taurat dan Injil.
Hatinya bergetar melihat dalam kafilah itu terdapat seorang anak yang terang
benderang sedang mengendarai unta. Anak itulah yang terlindung dari sorotan
sinar matahari oleh segumpal awan di atas kepalanya. “Inilah Roh Kebenaran yang
dijanjikan itu,” pikirnya.
Pendeta itu pun berjalan menyongsong iring-iringan
kafilah itu dan mengundang mereka dalam suatu perjamuan makan. Setelah
berbincang-bincang dengan Abi Thalib dan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
sendiri, ia semakin yakin bahwa anak yang bernama Muhammad adalah calon nabi
yang ditunjuk oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Keyakinan ini dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa
di belakang bahu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam terdapat sebuah tanda
kenabian.
Saat akan berpisah dengan para tamunya, pendeta
Buhairah berpesan pada
Abi Thalib, “Saya
berharap Tuan berhati-hati menjaganya. Saya yakin
dialah nabi akhir zaman yang telah ditunggu-tunggu oleh seluruh umat manusia.
Usahakan agar hal ini jangan diketahui oleh orang-orang Yahudi. Mereka telah
membunuh nabi-nabi sebelumnya. Saya tidak mengada-ada, apa yang saya terangkan
itu berdasarkan apa yang saya ketahui dari kitab Taurat dan Injil. Semoga
tuan-tuan selamat dalam `perjalanan.”
Apa yang dikatakan oleh pendeta Kristen
itu membuat Abi Thalib segera mempercepat urusannya di Suriah dan
segera pulang ke Mekah.
Gelar al-Amin
Pada usia 20 tahun, Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam mendirikan Hilful-Fudûl, suatu lembaga yang
bertujuan membantu orang-orang miskin dan teraniaya. Saat itu di Mekah memang
sedang kacau akibat perselisihan yang terjadi antara suku Quraisy dengan suku
Hawazin. Melalui Hilful-Fudûl inilah sifat-sifat kepemimpinan Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam mulai tampak. Karena aktivitasnya dalam lembaga
ini, disamping ikut membantu pamannya berdagang, namanya semakin terkenal
sebagai orang yang terpercaya. Relasi dagangnya semakin meluas karena berita
kejujurannya segera tersiar dari mulut ke mulut, sehingga ia mendapat gelar Al-Amîn,
yang artinya orang yang terpercaya.
Selain itu ia juga terkenal sebagai orang yang adil
dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Suatu ketika bangunan Ka’bah rusak
karena banjir. Penduduk Mekah kemudian bergotong-royong memperbaiki Ka’bah.
Saat pekerjaan sampai pada
pengangkatan dan peletakan Hajar Aswad ke tempatnya semula, terjadi
perselisihan. Masing-masing suku ingin mendapat kehormatan untuk melakukan
pekerjaan itu. Akhirnya salah satu dari mereka kemudian berkata, “Serahkan
putusan ini pada orang
yang pertama memasuki pintu Shafa ini.”
Mereka semua menunggu, kemudian tampaklah Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam muncul dari sana. Semua hadirin berseru, “Itu
dia al-Amin, orang yang terpercaya. Kami rela menerima semua keputusannya.”
Setelah mengerti duduk perkaranya, Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam lalu membentangkan sorbannya di atas tanah, dan
meletakkan Hajar Aswad di tengah-tengah, lalu meminta semua kepala suku
memegang tepi sorban itu dan mengangkatnya secara bersama-sama. Setelah sampai
pada ketinggian yang diharapkan, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
meletakkan batu itu pada tempatnya semula. Dengan demikian selesailah
perselisihan di antara suku-suku tsb dan mereka pun puas dengan cara
penyelesaian yang sangat bijak itu.
Pernikahan dengan Khadijah
Pada usia 25 tahun, atas permintaan Khadijah binti
Khuwailid, seorang saudagar kaya raya, Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam berangkat ke Suriah membawa barang dagangan
saudagar wanita yang telah lama menjanda itu. Ia dibantu oleh Maisaroh, seorang
pembantu lelaki yang telah lama bekerja pada Khadijah. Sejak pertemuan pertama
dengan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, Khadijah telah menaruh simpati
melihat penampilan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang sopan itu.
Kekagumannya semakin bertambah mengetahui hasil penjualan yang dicapai Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam di Suriah melebihi perkiraannya.
Akhirnya Khadijah mengutus Maisaroh dan teman
karibnya, Nufasah untuk menyampaikan isi
hatinya kepada Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Khadijah yang
berusia 40 tahun, melamar Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk menjadi
suaminya.
Setelah bermusyawarah dengan keluarganya, lamaran
itu akhirnya diterima dan dalam waktu dekat segera diadakan upacara pernikahan
dengan sederhana. yang hadir dalam acara itu antara lain
Abi Thalib, Waraqah bin Nawfal dan Abu Bakar as-Siddiq.
Pernikahan bahagia itu dikaruniai 6 orang anak,
terdiri dari 2 anak lelaki bernama Al-Qasim dan Abdullah, dan 4 anak perempuan
bernama Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalsum, dan Fatimah. Kedua anak lelakinya
meninggal selagi masih kecil. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam tidak
menikah lagi sampai Khadijah meninggal, saat Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam berusia 50 tahun.
Dalam kehidupan rumah-tangganya dengan Khadijah,
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam tidak pernah menyakiti hati istrinya.
Sebaliknya istrinya pun ikhlas menyerahkan segalanya pada
suaminya. Kekayaan istrinya digunakan oleh Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam untuk membantu orang-orang miskin dan tertindas. Budak-budak yang
telah dimiliki Khadijah sebelum pernikahan mereka, semuanya ia bebaskan, salah
satunya adalah Zaid bin Haritsah yang kemudian menjadi anak angkatnya.
Wahyu pertama
Menjelang usianya yang ke-40, Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam sering berkhalwat (menyendiri) ke Gua Hira,
sekitar 6 km sebelah timur kota Mekah. Ia bisa berhari-hari bertafakur dan
beribadah disana. Suatu ketika, pada tanggal 17 Ramadhan/6 Agustus 611, ia
melihat cahaya terang benderang memenuhi ruangan gua itu. Tiba-tiba Malaikat
Jibril muncul di hadapannya sambil berkata, “Iqra’ (bacalah).” Lalu
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Mâ anâ bi qâri’ (saya
tidak dapat membaca).”
Mendengar jawaban Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, Jibril lalu memeluk
tubuh Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengan sangat erat, lalu
melepaskannya dan kembali menyuruh Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
membaca. Namun setelah dilakukan sampai 3 kali dan Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam tetap memberikan jawaban yang sama, Malaikat Jibril kemudian
menyampaikan wahyu Allah
Subhanahu Wa Ta’ala pertama, yang artinya:
Bacalah dengan (menyebut) nama
Rabbmu yang Menciptakan. Ia menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Rabbmulah yang Paling Pemurah. yang mengajar (manusia) dengan
perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(QS. 96: 1-5)
Saat itu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
berusia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun kamariah (penanggalan
berdasarkan bulan), atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun
syamsiah (penanggalan berdasarkan matahari). Dengan turunnya 5 ayat pertama
ini, berarti Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam telah dipilih oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala sebagai rasul.
Setelah pengalaman luar biasa di Gua Hira tsb,
dengan rasa ketakutan dan cemas Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
pulang ke rumah dan berseru pada
Khadijah, “Selimuti aku, selimuti aku.” Sekujur tubuhnya terasa
panas dan dingin berganti-ganti. Setelah lebih tenang, barulah ia bercerita
kepada istrinya. Untuk lebih menenangkan hati suaminya, Khadijah mengajak Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam datang pada saudara sepupunya, Waraqah bin
Naufal, yang banyak mengetahui kitab-kitab suci Kristen dan Yahudi. Mendengar
cerita yang dialami Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, Waraqah pun
berkata, “Aku telah bersumpah dengan nama Tuhan, yang dalam tangan-Nya
terletak hidup Waraqah, Tuhan telah memilihmu menjadi nabi kaum
ini. An-Nâmûs al-Akbar (Malaikat Jibril) telah
datang kepadamu. Kaummu akan mengatakan bahwa engkau penipu, mereka akan
memusuhimu, dan mereka akan melawanmu. Sungguh, sekiranya aku dapat hidup pada
hari itu, aku akan berjuang membelamu.”
Dakwah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
Hai orang
yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan
Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah
berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh
(balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah.
(QS. 74: 1-7)
Dengan turunnya surat Al-Muddatsir ini, mulailah
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam berdakwah. Mula-mula ia melakukannya
secara sembunyi-sembunyi di lingkungan keluarga dan rekan-rekannya. Orang
pertama yang menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah yang pertama
kali masuk Islam. Menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, saudara
sepupunya yang kala
itu baru berumur 10 tahun, sehingga Ali menjadi lelaki pertama yang
masuk Islam. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Baru
kemudian diikuti oleh Zaid bin Haritsah, bekas budak yang telah menjadi anak
angkatnya, dan Ummu Aiman, pengasuh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sejak
ibunya masih hidup.
Abu Bakar sendiri kemudian berhasil mengislamkan
beberapa orang teman dekatnya, seperti, Usman
bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqas,
dan Talhah bin Ubaidillah. Dari dakwah yang masih rahasia ini, belasan orang
telah masuk Islam.
Setelah beberapa lama
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjalankan dakwah secara diam-diam,
turunlah perintah agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjalankan dakwah
secara terang-terangan. Mula-mula ia mengundang kerabat karibnya dalam sebuah
jamuan. Pada kesempatan itu ia menyampaikan ajarannya. Namun ternyata hanya
sedikit yang menerimanya. Sebagian menolak dengan halus, sebagian menolak
dengan kasar, salah satunya adalah Abu Lahab.
Langkah dakwah seterusnya diambil Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam dalam pertemuan yang lebih besar
. Ia pergi ke Bukit Shafa, sambil berdiri di sana ia berteriak memanggil
orang banyak. Karena Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah orang yang
terpercaya, penduduk yakin bahwa pastilah terjadi sesuatu yang sangat penting,
sehingga mereka pun berkumpul di sekitar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Untuk menarik perhatian, mula-mula Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam berkata, “Saudara-saudaraku, jika aku berkata, di belakang
bukit ini ada pasukan musuh yang
siap menyerang kalian, percayakah kalian?”
Dengan serentak mereka menjawab, “Percaya, kami
tahu saudara belum pernah berbohong. Kejujuran saudara tidak ada duanya. Saudara
yang mendapat gelar al-Amin.”
Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
meneruskan, “Kalau demikian, dengarkanlah. Aku ini adalah seorang nazir
(pemberi peringatan). Allah telah memerintahkanku
agar aku memperingatkan saudara-saudara. Hendaknya kamu hanya menyembah Allah
saja. Tidak ada Tuhan selain Allah. Bila saudara ingkar, saudara akan terkena
azabnya dan saudara nanti akan menyesal. Penyesalan kemudian tidak ada
gunanya.”
Tapi khotbah ini ternyata membuat orang-orang yang
berkumpul itu marah, bahkan sebagian dari mereka ada yang mengejeknya gila
. Pada saat itu, Abu Lahab berteriak, “Celakalah engkau hai Muhammad
. Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?”
Sebagai balasan terhadap ucapan Abu Lahab tsb
turunlah ayat Al-Qur’an yang artinya:
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya
dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia
usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula
) isterinya, pembawa kayu bakar. yang di lehernya ada tali dari sabut. (QS.
111: 1-5)
Aksi-aksi menentang Dakwah Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam
Reaksi-reaksi keras menentang dakwah Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam bermunculan, namun tanpa kenal lelah Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam terus melanjutkan dakwahnya, sehingga hasilnya
mulai nyata. Hampir setiap hari ada yang menggabungkan diri dalam barisan
pemeluk agama Islam. Mereka terutama terdiri dari kaum
wanita, budak, pekerja, dan orang-orang miskin serta lemah. Meskipun
sebagian dari mereka adalah orang-orang yang lemah, namun semangat yang
mendorong mereka beriman sangat membaja.
Tantangan dakwah terberat datang dari para penguasa
Mekah, kaum feodal, dan para pemilik budak. Mereka ingin mempertahankan tradisi
lama disamping juga khawatir jika struktur masyarakat dan
kepentingan-kepentingan dagang mereka akan tergoyahkan oleh ajaran Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang menekankan pada keadilan sosial dan
persamaan derajat. Mereka menyusun siasat untuk melepaskan hubungan keluarga
antara Abi Thalib dan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengen cara
meminta pada Abu Thalib memilih satu di antara dua: memerintahkan
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam agar berhenti berdakwah, atau
menyerahkannya kepada mereka. Abi Thalib terpengaruh oleh ancaman itu, ia
meminta agar Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menghentikan dakwahnya.
Tetapi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menolak permintaannya dan berkata, “Demi
Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan
amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara
mengucilkan saya.”
Gagal dengan cara pertama, kaum Quraisy lalu
mengutus Walid bin Mugirah menemui Abi Thalib dengan membawa seorang pemuda
untuk dipertukarkan dengan Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam. Pemuda itu bernama Umarah bin Walid,
seorang pemuda yang gagah dan tampan. Walid bin Mugirah berkata, “Ambillah
dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan kepada kami Muhammad
untuk kami bunuh, karena dia telah menentang kami
dan memecah belah kita”.
Usul Quraisy itu ditolak mentah-mentah oleh
Abi Thalib dengan berkata, “Sungguh jahat pikiran kalian. Kalian serahkan
anak kalian untuk saya
asuh dan beri makan, dan saya serahkan kemenakan
saya untuk kalian bunuh. Sungguh suatu penawaran yang tak mungkin saya terima.”
Kembali mengalami kegagalan, berikutnya mereka
menghadapi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam secara langsung. Mereka
mengutus Utbah bin Rabi’ah, seorang ahli retorika, untuk membujuk Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam. Mereka menawarkan takhta, wanita, dan harta yang
mereka kira
diinginkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, asal Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam bersedia menghentikan dakwahannya. Namun semua tawaran itu
ditolak oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengan mengatakan, “Demi
Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di
tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah
agama Allah ini, hingga agama ini memang atau aku binasa karenanya.”
Setelah gagal dengan cara-cara diplomatik dan bujuk
rayu, kaum Quraisy mulai melakukan tindak kekerasan. Budak-budak mereka yang
telah masuk Islam mereka siksa dengan sangat kejam. Mereka dipukul, dicambuk,
dan tidak diberi makan dan minum. Salah seorang budak bernama Bilal
, mendapat siksaan ditelentangkan di atas pasir yang panas dan di atas
dadanya diletakkan batu yang besar dan berat.
Setiap suku diminta menghukum anggota keluarganya
yang masuk Islam
sampai ia murtad kembali. Usman bin Affan misalnya, dikurung dalam
kamar gelap dan dipukul hingga babak belur oleh anggota keluarganya sendiri.
Secara keseluruhan, sejak saat itu umat Islam mendapat siksaan yang pedih dari
kaum Quraisy Mekah. Mereka dilempari kotoran, dihalangi untuk melakukan ibadah
di Ka’bah, dan lain sebagainya.
Kekejaman terhadap kaum
Muslimin mendorong Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk
mengungsikan sahabat-sahabatnya keluar dari Mekah. Dengan pertimbangan yang
mendalam, pada tahun ke-5 kerasulannya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
menetapkan Abessinia atau Habasyah (Ethiopia
sekarang) sebagai negeri tempat pengungsian, karena raja
negeri itu adalah seorang yang adil, lapang hati, dan suka menerima
tamu. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam merasa pasti rombongannya akan diterima
dengan tangan terbuka.
Rombongan pertama terdiri dari 10 orang pria dan 5
orang wanita. di antara rombongan tsb adalah Usman bin Affan beserta istrinya
Ruqayah (putri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam), Zubair bin Awwam, dan
Abdur Rahman
bin Auf. Kemudian menyusul rombongan kedua yang dipimpin oleh Ja’far
bin Abi Thalib. Beberapa sumber menyatakan jumlah rombongan ini lebih dari 80
orang.
Berbagai usaha dilakukan oleh kaum Quraisy untuk
menghalangi hijrah ke Habasyah ini, termasuk membujuk raja negeri tsb agar
menolak kehadiran umat Islam disana. Namun berbagai usaha itu pun gagal.
Semakin kejam mereka memperlakukan umat Islam, justru semakin bertambah jumlah
yang memeluk Islam. Bahkan di tengah meningkatnya kekejaman tsb, dua orang kuat
Quraisy masuk Islam, yaitu Hamzah bin Abdul
Muthalib dan Umar bin Khattab. Dengan masuk Islamnya dua orang yang
dijuluki “Singa Arab” itu, semakin kuatlah posisi umat Islam dan dakwah
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam pada waktu itu.
Hal ini membuat reaksi kaum
Quraisy semakin keras. Mereka berpendapat bahwa kekuatan Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam terletak pada perlindungan Bani Hasyim, maka mereka pun
berusaha melumpuhkan Bani Hasyim dengan melaksanakan blokade. Mereka memutuskan
segala macam hubungan dengan suku ini. Tidak seorang pun penduduk Mekah boleh
melakukan hubungan dengan Bani Hasyim, termasuk hubungan jual-beli dan
pernikahan. Persetujuan yang mereka buat dalam bentuk piagam itu mereka
tanda-tangani bersama dan mereka gantungkan di dalam Ka’bah. Akibatnya, Bani
Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Untuk meringankan
penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya mengungsi ke suatu lembah di luar kota
Mekah.
Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7
kenabian Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam dan berlangsung selama 3 tahun itu
merupakan tindakan yang paling menyiksa. Pemboikotan itu berhenti karena
terdapat beberapa pemimpin Quraisy yang menyadari bahwa tindakan pemboikotan
itu sungguh keterlaluan. Kesadaran itulah yang mendorong mereka melanggar
perjanjian yang mereka buat sendiri. Dengan demikian Bani Hasyim akhirnya dapat
kembali pulang ke rumah masing-masing.
Setelah Bani Hasyim kembali ke rumah mereka, Abi
Thalib, paman Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam yang merupakan pelindung
utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari kemudian, Khadijah,
istrinya, juga meninggal dunia. Tahun ke-10 kenabian ini benar-benar merupakan
Tahun Kesedihan (‘Âm al-Huzn) bagi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.
Telebih sepeninggal dua pendukungnya itu, kaum Quraisy tidak segan-segan
melampiaskan kebencian kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Hingga kemudian
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam berusaha menyebarkan dakwah ke luar kota,
yaitu ke Ta’if. Namun reaksi yang diterima Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
dari Bani Saqif (penduduk Ta’if), tidak jauh berbeda dengan penduduk Mekah.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam diejek, disoraki, dilempari batu sampai ia
luka-luka di bagian kepala dan badannya.
Peristiwa Isra Mi’raj
Pada
tahun ke-10 kenabian, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
mengalami peristiwa Isra Mi’raj.
Mi’raj, yaitu kenaikan Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam dari Masjidilaksa ke langit melalui
beberapa tingkatan, terus menuju Baitulmakmur, sidratulmuntaha, arsy (takhta
Tuhan), dan kursi (singgasana Tuhan), hingga menerima wahyu di hadirat Allah
Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalam kesempatannnya berhadapan langsung dengan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala inilah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
menerima perintah untuk mendirikan sholat 5 waktu sehari semalam.
Hijrah
Harapan baru bagi perkembangan Islam muncul dengan
datangnya jemaah haji ke Mekah yang berasal dari Yatsrib (Madinah). Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam memanfaatkan kesempatan itu untuk
menyebarkan agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mendatangi kemah-kemah
mereka. Namun usaha ini selalu diikuti oleh Abu Lahab dan kawan-kawannya dengan
mendustakan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Suatu ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
bertemu dengan 6 orang dari suku Aus dan Khazraj yang berasal dari Yatsrib. Setelah
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam
, mereka menyatakan diri masuk Islam di hadapan Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam. Mereka berkata, “Bangsa kami sudah lama
terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku
Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian. Kiranya kini Tuhan
mempersatukan mereka kembali dengan perantaramu dan ajaran-ajaran yang kamu
bawa. Oleh karena itu kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang
kami terima dari kamu ini.”
Pada
musim haji tahun berikutnya, datanglah delegasi Yatsrib yang terdiri
dari 12 orang suku Khazraj dan Aus. Mereka menemui Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam di suatu tempat bernama Aqabah. Di hadapan Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam, mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Karena ikrar ini dilakukan di
Aqabah, maka dinamakan Bai’at Aqabah. Rombongan 12 orang tsb kemudian kembali
ke Yatsrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang
sengaja diutus oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam atas permintaan mereka.
Pada musim haji
berikutnya, jemaah haji yang datang dari Yatsrib berjumlah 75 orang,
termasuk 12 orang yang sebelumnya telah menemui Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam di Aqabah. Mereka meminta agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
bersedia pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam dari segala ancaman. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
menyetujui usul yang mereka ajukan.
Mengetahui adanya perjanjian antara Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam dengan orang-orang Yatsrib, kaum
Quraisy menjadi semakin kejam terhadap kaum muslimin. Hal ini membuat
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke
Yatsrib. Secara diam-diam, berangkatlah rombongan-rombongan muslimin, sedikit
demi sedikit, ke Yatsrib. Dalam waktu 2 bulan, kurang lebih 150 kaum muslimin
telah berada di Yatsrib. Sementara itu Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar as-Sidiq
tetap tinggal di Mekah bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, membelanya
sampai Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mendapat wahyu untuk hijrah ke Yatsrib.
Kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam sebelum ia sempat menyusul umatnya ke
Yatsrib. Pembunuhan itu direncanakan melibatkan semua suku. Setiap suku
diwakili oleh seorang pemudanya yang terkuat. Rencana pembunuhan itu terdengar
oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, sehingga ia merencanakan hijrah bersama
sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar diminta mempersiapkan segala hal yang
diperlukan dalam perjalanan, termasuk 2 ekor unta. Sementara Ali bin Abi Thalib
diminta untuk menggantikan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menempati tempat
tidurnya agar kaum Quraisy mengira bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam masih
tidur.
Pada malam hari yang direncanakan, di tengah malam
buta Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam keluar dari rumahnya tanpa diketahui oleh
para pengepung dari kalangan kaum Quraisy. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
menemui Abu Bakar yang telah siap menunggu. Mereka berdua keluar dari Mekah
menuju sebuah Gua Tsur, kira-kira 3 mil sebelah selatan Kota Mekah. Mereka
bersembunyi di gua itu selama 3 hari 3 malam menunggu keadaan aman. Pada malam
ke-4, setelah usaha orang Quraisy mulai menurun karena mengira Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam sudah sampai di Yatsrib, keluarlah Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam dan Abu Bakar dari persembunyiannya. Pada waktu itu Abdullah
bin Uraiqit yang diperintahkan oleh Abu Bakar pun tiba dengan membawa 2
ekor unta yang memang telah dipersiapkan sebelumnya. Berangkatlah Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam bersama Abu Bakar menuju Yatsrib menyusuri pantai
Laut Merah, suatu jalan yang tidak pernah ditempuh orang.
Setelah 7 hari perjalanan, Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam dan Abu Bakar tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya 5 km dari
Yatsrib. Di desa ini mereka beristirahat selama beberapa hari. Mereka menginap
di rumah
Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam membangun sebuah masjid yang kemudian terkenal sebagai Masjid Quba. Inilah masjid pertama yang
dibangun Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai pusat peribadatan.
Tak lama
kemudian, Ali menggabungkan diri dengan Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam. Sementara itu penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatangannya. Menurut
perhitungan mereka, berdasarkan perhitungan yang lazim ditempuh orang,
seharusnya Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sudah tiba di Yatsrib. Oleh sebab
itu mereka pergi ke tempat-tempat yang tinggi, memandang ke arah Quba,
menantikan dan menyongsong kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan
rombongan. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dengan perasaan
bahagia, mereka mengelu-elukan kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Mereka berbaris di sepanjang jalan dan menyanyikan lagu Thala’ al-Badru, yang
isinya:
Telah tiba bulan purnama, dari Saniyyah al-Wadâ’i
(celah-celah bukit).
Setiap orang ingin agar Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam singgah dan menginap di rumahnya. Tetapi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
hanya berkata, “Aku akan menginap dimana untaku berhenti. Biarkanlah dia
berjalan sekehendak hatinya.”
Ternyata unta itu berhenti di tanah milik dua anak
yatim, yaitu Sahal dan Suhail, di depan rumah milik Abu Ayyub al-Anshari.
Dengan demikian Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memilih rumah Abu Ayyub
sebagai tempat menginap sementara. Tujuh bulan lamanya Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam tinggal di rumah Abu Ayyub, sementara kaum
Muslimin bergotong-royong membangun rumah untuknya.
Sejak itu nama kota Yatsrib diubah menjadi Madînah
an-Nabî (kota nabi). Orang sering pula menyebutnya Madînah al-Munawwarah (kota
yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam
memancar ke seluruh dunia.
Terbentuknya Negara Madinah
Setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam tiba di
Madinah dan diterima penduduk Madinah, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjadi
pemimpin penduduk kota itu. Ia segera meletakkan dasar-dasar kehidupan yang
kokoh bagi pembentukan suatu masyarakat baru
.
Dasar pertama yang ditegakkannya adalah Ukhuwah
Islamiyah (persaudaraan di dalam Islam), yaitu antara kaum Muhajirin
(orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah) dan Anshar (penduduk Madinah
yang masuk Islam dan ikut membantu kaum Muhajirin). Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam mempersaudarakan individu-individu dari golongan Muhajirin dengan
individu-individu dari golongan Anshar. Misalnya, Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam mempersaudarakan Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid, Ja’far bin Abi
Thalib dengan Mu’az bin Jabal. Dengan demikian diharapkan masing-masing orang
akan terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Dengan persaudaraan
yang semacam ini pula
, Rasulullah telah menciptakan suatu persaudaraan baru, yaitu
persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan
keturunan.
Dasar kedua adalah sarana terpenting untuk
mewujudkan rasa persaudaraan tsb, yaitu tempat pertemuan. Sarana yang dimaksud
adalah masjid, tempat untuk melakukan ibadah kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala secara berjamaah, yang juga dapat digunakan sebagai
pusat kegiatan untuk berbagai hal, seperti belajar-mengajar, mengadili
perkara-perkara yang muncul dalam masyarakat, musyawarah, dan transaksi dagang.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam merencanakan
pembangunan masjid itu dan langsung ikut membangun bersama-sama kaum
muslimin. Masjid yang dibangun ini kemudian dikenal sebagai Masjid
Nabawi. Ukurannya cukup besar, dibangun di atas sebidang tanah dekat rumah Abu
Ayyub al-Anshari. Dindingnya terbuat dari tanah liat, sedangkan atapnya dari
daun-daun dan pelepah kurma. Di dekat masjid itu dibangun pula tempat tinggal
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan keluarganya.
Dasar ketiga adalah hubungan persahabatan dengan
pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang Arab
Islam juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang
Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat
dapat diwujudkan, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan ikatan
perjanjian dengan mereka. Perjanjian tsb diwujudkan melalui sebuah piagam yang
disebut dengan Mîsâq Madînah atau Piagam Madinah. Isi piagam itu antara lain mengenai
kebebasan beragama, hak dan kewajiban masyarakat dalam menjaga keamanan dan
ketertiban negerinya, kehidupan sosial, persamaan derajat, dan disebutkan bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menjadi kepala pemerintahan di Madinah.
Masyarakat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam di Madinah setelah hijrah itu sudah dapat
dikatakan sebagai sebuah negara, dengan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam sebagai kepala negaranya. Dengan terbentuknya Negara Madinah, Islam
makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang
Mekah menjadi resah. Mereka takut kalau-kalau umat Islam memukul mereka dan
membalas kekejaman yang pernah mereka lakukan. Mereka juga khawatir kafilah
dagang mereka ke Suriah akan diganggu atau dikuasai oleh kaum muslimin.
Untuk memperkokoh dan mempertahankan keberadaan
negara yang baru didirikan itu, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan
beberapa ekspedisi ke luar kota, baik langsung di bawah pimpinannya maupun
tidak. Hamzah bin Abdul
Muttalib membawa 30 orang berpatroli ke pesisir L. Merah. Ubaidah bin
Haris membawa 60 orang menuju Wadi Rabiah. Sa’ad bin Abi Waqqas ke Hedzjaz
dengan 8 orang Muhajirin. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri membawa
pasukan ke Abwa dan disana berhasil mengikat perjanjian dengan Bani Damra,
kemudian ke Buwat dengan membawa 200 orang Muhajirin dan Anshar, dan ke
Usyairiah. Di sini Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan perjanjian
dengan Bani Mudij.
Ekspedisi-ekspedisi tsb sengaja digerakkan Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai aksi-aksi siaga dan melatih kemampuan calon
pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan
negara yang baru
dibentuk. Perjanjian perdamaian dengan kabilah dimaksudkan sebagai
usaha memperkuat kedudukan Madinah.
Perang Badr
Perang Badr yang merupakan perang antara
kaum muslimin Madinah dan kaun musyrikin Quraisy Mekah terjadi pada
tahun 2 H. Perang ini merupakan puncak dari serangkaian pertikaian yang terjadi
antara pihak kaum muslimin Madinah dan kaum musyrikin Quraisy. Perang ini
berkobar setelah berbagai upaya perdamaian yang dilaksanakan Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam gagal.
Tentara muslimin Madinah terdiri dari 313 orang
dengan perlengkapan senjata sederhana yang terdiri dari pedang, tombak, dan
panah. Berkat kepemimpinan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dan
semangat pasukan yang membaja, kaum
muslimin keluar sebagai pemenang. Abu Jahal, panglima perang pihak
pasukan Quraisy dan musuh utama Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sejak
awal, tewas dalam perang itu. Sebanyak 70 tewas dari pihak Quraisy, dan 70
orang lainnya menjadi tawanan. Di pihak kaum muslimin, hanya 14 yang gugur
sebagai syuhada. Kemenangan itu sungguh merupakan pertolongan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala (QS. 3: 123).
Orang-orang Yahudi Madinah tidak senang dengan
kemenangan kaum muslimin. Mereka memang tidak pernah sepenuh hati menerima
perjanjian yang dibuat antara mereka dan Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam dalam Piagam Madinah.
Sementara itu, dalam menangani persoalan tawanan
perang, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam memutuskan untuk membebaskan
para tawanan dengan tebusan sesuai kemampuan masing-masing. Tawanan yang pandai
membaca dan menulis dibebaskan bila bersedia mengajari orang-orang Islam
yang masih buta aksara. Namun tawanan yang tidak memiliki kekayaan dan
kepandaian apa-apa pun tetap dibebaskan juga.
Tidak lama setelah perang Badr, Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan perjanjian dengan suku Badui
yang kuat. Mereka ingin menjalin hubungan dengan Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam karenan melihat kekuatan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Tetapi
ternyata suku-suku itu hanya memuja kekuatan semata.
Sesudah perang Badr, Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam juga menyerang Bani Qainuqa, suku Yahudi Madinah yang berkomplot
dengan orang-orang Mekah. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam lalu mengusir kaum
Yahudi itu ke Suriah.
Perang Uhud
Perang yang terjadi di Bukit Uhud ini berlangsung
pada tahun 3 H. Perang ini disebabkan karena keinginan balas
dendam orang-orang Quraisy Mekah yang kalah dalam perang Badr.
Pasukan Quraisy, dengan dibantu oleh kabilah
Tihama dan Kinanah, membawa 3.000 ekor unta dan 200 pasukan berkuda di bawah
pimpinan Khalid bin Walid. Tujuh ratus orang di antara
mereka memakai baju besi.
Adapun jumlah pasukan Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam hanya berjumlah 700 orang.
Perang pun berkobar. Prajurit-prajurit Islam dapat
memukul mundur pasukan musuh yang jauh lebih besar itu. Tentara Quraisy mulai
mundur dan kocar-kacir meninggalkan harta
mereka.
Melihat kemenangan yang sudah di ambang
pintu, pasukan pemanah yang ditempatkan oleh Rasulullah di puncak bukit
meninggalkan pos mereka dan turun untuk mengambil harta peninggalan musuh.
Mereka lupa akan pesan Rasulullah untuk tidak meninggalkan pos mereka dalam
keadaan bagaimana pun sebelum diperintahkan. Mereka tidak lagi menghiraukan
gerakan musuh. Situasi ini dimanfaatkan musuh untuk segera melancarkan serangan
balik. Tanpa konsentrasi penuh, pasukan Islam
tak mampu menangkis serangan. Mereka terjepit, dan satu per satu
pahlawan Islam berguguran.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri terkena
serangan musuh. Sisa-sisa pasukan Islam
diselamatkan oleh berita tidak benar yang diterima musuh bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam sudah meninggal. Berita ini membuat mereka
mengendurkan serangan untuk kemudian mengakhiri pertempuran itu.
Perang Uhuh ini menyebabkan 70 orang pejuang Islam
gugur sebagai syuhada.
Perang Khandaq
Perang yang terjadi pada tahun 5 H ini merupakan
perang antara
kaum muslimin Madinah melawan masyarakat Yahudi Madinah yang mengungsi
ke Khaibar yang bersekutu dengan masyarakat Mekah. Karena itu perang ini juga
disebut sebagai Perang Ahzab (sekutu beberapa suku).
Pasukan gabungan ini terdiri dari 10.000
orang tentara. Salman al-Farisi, sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam, mengusulkan agar kaum
muslimin membuat parit pertahanan di bagian-bagian kota yang terbuka.
Karena itulah perang ini disebut sebagai Perang Khandaq yang berarti parit.
Tentara sekutu yang tertahan oleh parit tsb
mengepung Madinah dengan mendirikan perkemahan di luar parit hampir sebulan
lamanya. Pengepungan ini cukup membuat masyarakat Madinah menderita karena
hubungan mereka dengan dunia luar menjadi terputus. Suasana kritis itu
diperparah pula
oleh pengkhianatan orang-orang Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizah,
dibawah pimpinan Ka’ab bin Asad.
Namun akhirnya pertolongan Allah Subhanahu Wa
Ta’ala menyelamatkan kaum muslimin. Setelah sebulan mengadakan pengepungan,
persediaan makanan pihak sekutu berkurang. Sementara itu pada
malam hari angin dan badai turun dengan amat kencang, menghantam dan
menerbangkan kemah-kemah dan seluruh perlengkapan tentara sekutu. Sehingga
mereka terpaksa menghentikan pengepungan dan kembali ke negeri masing-masing
tanpa suatu hasil.
Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah
disyariatkan, hasrat kaum
muslimin untuk mengunjungi Mekah sangat bergelora. Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam memimpin langsung sekitar 1.400 orang kaum muslimin berangkat
umrah pada bulan suci Ramadhan, bulan yang dilarang adanya perang. Untuk itu
mereka mengenakan pakaian ihram dan membawa senjata ala kadarnya untuk menjaga
diri, bukan untuk berperang.
Orang-orang kafir Quraisy melarang kaum
muslimin masuk ke Mekah dengan menempatkan sejumlah besar tentara untuk
berjaga-jaga.
Akhirnya diadakanlah Perjanjian Hudaibiyah antara
Madinah dan Mekah, yang isinya antara lain:
Kedua belah pihak setuju untuk melakukan gencatan
senjata selama 10 tahun.
Bila ada pihak Quraisy yang menyeberang ke pihak Muhammad
, ia harus dikembalikan. Tetapi bila ada pengikut Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam yang menyeberang ke pihak Quraisy, pihak Quraisy tidak harus
mengembalikannya ke pihak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.
Tiap kabilah bebas melakukan perjanjian baik dengan
pihak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam maupun dengan pihak Quraisy.
Kaum
muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah pada tahun tsb, tetapi
ditangguhkan sampai tahun berikutnya.
Jika tahun depan kaum muslimin memasuki kota Mekah,
orang Quraisy harus keluar lebih dulu.
Kaum muslimin memasuki kota Mekah dengan tidak
diizinkan membawa senjata, kecuali pedang di dalam sarungnya, dan tidak boleh
tinggal di Mekah lebih dari 3 hari 3 malam.
Tujuan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam membuat
perjanjian tsb sebenarnya adalah berusaha merebut dan menguasai Mekah, untuk
kemudian dari sana menyiarkan Islam
ke daerah-daerah lain.
Mekah adalah pusat keagamaan bangsa Arab, sehingga
dengan melalui konsolidasi bangsa Arab dalam Islam, diharapkan Islam dapat
tersebar ke luar.
Apabila suku Quraisy dapat diislamkan, maka Islam
akan memperoleh dukungan yang besar
, karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar
di kalangan bangsa Arab.
Setahun kemudian ibadah haji ditunaikan sesuai
perjanjian. Banyak orang Quraisy yang masuk Islam
setelah menyaksikan ibadah haji yang dilakukan kaum muslimin, disamping
juga melihat kemajuan yang dicapai oleh masyarakat Islam Madinah.
Penyebaran Islam ke negeri-negeri lain
Gencatan senjata dengan penduduk Mekah memberi
kesempatan kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam untuk mengalihkan perhatian
ke berbagai negeri-negeri lain sambil memikirkan bagaimana cara
mengislamkan mereka. Salah satu cara yang ditempuh oleh Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian adalah dengan mengirim utusan dan surat ke
berbagai kepala negara dan pemerintahan.
di antara
raja-raja yang dikirimi surat oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
adalah raja Gassan dari Iran, raja Mesir, Abessinia, Persia, dan Romawi. Memang
dengan cara itu tidak ada raja-raja yang masuk Islam, namun setidaknya risalah
Islam sudah sampai kepada mereka. Reaksi para raja itu pun ada yang menolak
dengan baik dan simpatik sambil memberikan hadiah, ada pula yang menolak dengan
kasar.
Raja
Gassan termasuk yang menolak dengan kasar. Utusan yang dikirim Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam dibunuhnya dengan kejam. Sebagai jawaban, Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian mengirim pasukan perang sebanyak 3.000
orang dibawah pimpinan Zaid bin Haritsah. Peperangan terjadi di Mu’tah, sebelah
utara Semenanjung Arab.
Pasukan Islam mendapat kesulitan menghadapi tentara
Gassan yang mendapat bantuan langsung dari Romawi. Beberapa syuhada gugur dalam
pertempuran melawan pasukan berkekuatan ratusan ribu orang itu. di antara
mereka yang gugur adalah Zaid
bin Haritsah sendiri, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Abi
Rawahah.
Melihat kekuatan yang
tidak seimbang itu, Khalid bin Walid, bekas panglima Quraisy yang sudah masuk Islam
, mengambil alih komando dan memerintahkan pasukan Islam menarik diri
dan kembali ke Madinah.
Perang melawan tentara Gassan dan pasukan Romawi
ini disebut dengan Perang Mu’tah.
Kembali ke Mekah
Selama 2 tahun Perjanjian Hudaibiyah, dakwah Islam
sudah menjangkau Semenanjung Arab dan mendapat tanggapan yang positif. Hampir
seluruh Semenanjung Arab, termasuk suku-suku yang paling selatan, telah
menggabungkan diri ke dalam Islam. Hal ini membuat orang-orang Mekah merasa terpojok.
Perjanjian Hudaibiyah ternyata telah menjadi senjata bagi umat Islam untuk
memperkuat dirinya. Oleh karena itu secara sepihak orang-orang Quraisy
membatalkan perjanjian tsb. Mereka menyerang Bani Khuza’ah yang berada di bawah
perlindungan Islam hanya karena kabilah ini berselisih dengan Bani Bakar yang
menjadi sekutu Quraisy. Sejumlah orang Kuza’ah mereka bunuh dan sebagian
lainnya dicerai-beraikan. Bani Khuza’ah segera mengadu pada Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam dan meminta keadilan.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam segera
bertolak dengan 10.000 orang tentara untuk melawan kaum musyrik Mekah itu.
Kecuali perlawanan kecil dari kaum Ikrimah dan Safwan, Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam tidak mengalami kesukaran memasuki kota Mekah. Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam memasuki kota itu sebagai pemenang. Pasukan Islam
memasuki kota Mekah tanpa kekerasan. Mereka kemudian menghancurkan
patung-patung berhala di seluruh negeri. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…Kebenaran sudah datang dan yang bathil telah
lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti
lenyap.”(QS. 17: 81)
Setelah melenyapkan berhala-berhala itu, Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam berkhotbah menjanjikan ampunan bagi orang-orang
Quraisy. Setelah khotbah tsb, berbondong-bondong mereka datang dan masuk Islam
. Ka’bah bersih dari berhala dan tradisi-tradisi serta
kebiasaan-kebiasaan musyrik.
Sejak itu, Mekah kembali berada di bawah kekuasaan
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Setelah Mekah dapat dikalahkan, masih terdapat
suku-suku Arab yang menentang, yaitu Bani Saqif, Bani Hawazin, Bani Nasr, dan
Bani Jusyam. Suku-suku ini berkomplot membentuk satu pasukan untuk memerangi
Islam karena ingin menuntut bela atas berhala-berhala mereka yang diruntuhkan
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan umat Islam di Ka’bah. Pasukan mereka
dipimpin oleh Malik
bin Auf (dari Bani Nasr).
Kurang lebih 2 minggu kemudian, Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam memimpin sekitar 12.000 tentara menuju Hunain. Saat melihat
banyak pasukan Islam yang gugur, sebagian pasukan yang masih hidup menjadi
goyah dan kacau balau, sehingga Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian
memberi semangat dan memimpin langsung peperangan tsb. Akhirnya umat Islam
berhasil menang. Pasukan musuh yang melarikan diri ke Ta’if terus diburu selama
beberap minggu sampai akhirnya mereka menyerah. Pemimpin mereka, Malik bin Auf,
menyatakan diri masuk Islam.
Dengan ditaklukannya Bani Saqif dan Bani Hawazin,
kini seluruh Semenanjung Arab
berada di bawah satu kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam. Melihat kenyataan itu, Heraclius, pemimpin Romawi,
menyusun pasukan besar di Suriah, kawasan utara Semenanjung Arab yang merupakan
daerah pendudukan Romawi. Dalam pasukan besar itu bergabung Bani Gassan dan
Bani Lachmides.
Dalam masa panen dan pada
musim yang sangat panas, banyak pahlawan Islam yang menyediakan diri
untuk berperang bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Pasukan Romawi
kemudian menarik diri setelah melihat betapa besarnya pasukan yang dipimpin
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri
tidak melakukan pengejaran, melainkan ia berkemah di Tabuk. Disini Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam membuat beberapa perjanjian dengan penduduk
setempat. Dengan demikian daerah perbatasan itu dapat dirangkul ke dalam
barisan Islam.
Perang yang
terjadi di Tabuk ini merupakan perang terakhir yang diikuti Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam.
Pada tahun 9 dan 10 H banyak suku dari seluruh
pelosok Arab yang mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam untuk menyatakan tunduk kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Masuknya orang Mekah ke dalam agama Islam mempunyai pengaruh yang amat besar
pada penduduk Arab. Oleh karena itu, tahun ini disebut dengan Tahun Perutusan
atau ‘Âm al-Bi’sah. Mereka yang datang ke Mekah, rombongan demi rombongan, mempelajari
ajaran-ajaran Islam dan setelah itu kembali ke negeri masing-masing untuk
mengajarkan kepada kaumnya. Dengan cara
ini, persatuan Arab terbentuk. Peperangan antar suku yang berlangsung
selama ini berubah menjadi persaudaraan agama. Pada saat itu turunlah firman
Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Apabila telah datang pertolongan Allah
dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan
berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (QS. 110: 1-3)
Ia telah berhasil membacakan ayat-ayat Allah
Subhanahu Wa Ta’ala kepada mereka dan mensucikannya serta mengajarkan kitab dan
hikmah kepada mereka, padahal sebelumnya mereka berada dalam kegelapan yang
pekat.
Pada
awalnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mendapati mereka
bergelimang dalam ketakhyulan yang merendahkan derajat manusia, lalu ia
mengilhami mereka dengan kepercayaan kepada satu-satunya Tuhan yang Maha Besar
dan Maha Kasih Sayang.
Saat mereka bercerai-berai dan terlibat dalam
peperangan yang seolah tak ada habisnya, dipersatukannya mereka dalam ikatan
persaudaraan.
Kalau sebelumnya Semenanjung Arab
berada dalam kegelapan rohani, maka ia datang membawa cahaya
terang-benderang untuk menyinari rohani mereka.
Pekerjaannya selesai sudah, dan seluruhnya
dikerjakan dengan baik semasa hidupnya.
Disinilah letak keunggulan Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam dibanding dengan nabi-nabi yang lain
.
Pada
tahun 10 H, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mengerjakan ibadah haji
yang terakhir, yang disebut juga dengan haji wada’.
Pada tanggal 25 Zulkaidah 10/23 Februari 632
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam meninggalkan Madinah. Sekitar seratus
ribu jemaah turut menunaikan ibadah haji bersamanya.
Pada waktu wukuf di Arafah, Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam menyampaikan khotbahnya yang sangat
bersejarah. Isi khotbah itu antara lain:
larangan menumpahkan darah kecuali dengan haq
(benar) dan mengambil harta orang lain dengan bathil (salah), karena nyawa dan
harta benda adalah suci.
perintah untuk memperlakukan para istri dengan baik
serta lemah lembut
perintah menjauhi dosa
semua pertengkaran di antara mereka di zaman
Jahiliah harus dimaafkan
pembalasan dengan tebusan darah sebagaimana yang
berlaku di zaman Jahiliyah tidak lagi dibenarkan
hamba sahaya harus diperlakukan dengan baik, yaitu
mereka memakan apa yang
dimakan majikannya dan memakai apa yang dipakai majikannya
dan yang terpenting, bahwa umat Islam harus selalu
berpegang teguh pada
dua sumber yang tak akan pernah usang, yaitu Al-Qur’an dan Sunah Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam.
Setelah itu Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
bertanya kepada seluruh jemaah, “Sudahkan aku menyampaikan amanat Allah
, kewajibanku, kepada kamu sekalian?”
Jemaah yang ada di hadapannya segera
menjawab, “Ya, memang demikian adanya.”
Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian menengadah ke langit sambil
mengucapkan, “Ya Allah, Engkaulah menjadi saksiku.”
Dengan kata-kata seperti itu Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam mengakhiri khotbahnya.
Kembali ke Madinah
Setelah upacara haji yang lain disempurnakan, Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kembali ke Madinah. Disinilah ia
menghabiskan sisa hidupnya. Ia mengatur organisasi masyarakat di
kabilah-kabilah yang telah memeluk Islam dan menjadi bagian dari persekutuan
Islam. Petugas keamanan dan para da’i dikirimnya ke berbagai daerah untuk
menyebarkan ajaran-ajaran Islam, mengatur peradilan Islam, dan memungut zakat.
Salah seorang di antara petugas itu adalah Mu’az bin Jabal yang dikirim oleh
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam ke Yaman. Ketika itulah hadist Mu’az yang
terkenal muncul, yaitu perintah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam agar Mu’az
menggunakan pertimbangan akalnya dalam mengatur persoalan-persoalan agama
apabila ia tidak menemukan petunjuk dalam Al-Qur’an dan hadist Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam.
Pada
saat-saat itu pula wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang terakhir turun:
“… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu
jadi agamamu …” (QS. 5: 3)
Mendengar ayat ini, banyak orang yang bergembira
karena telah sempurna agama mereka, tetapi ada pula
yang menangis, seperti Abu Bakar, karena mengetahui bahwa ayat itu
jelas merupakan pertanda berakhirnya tugas Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam.
Wafatnya Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
Dua bulan setelah menunaikan ibadah haji wada’ di
Madinah, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sakit demam. Meskipun badannya mulai
lemah, ia tetap memimpin shalat berjamaah. Baru setelah kondisinya tidak
memungkinkan lagi, yaitu 3 hari menjelang wafatnya, ia tidak mengimami shalat
berjamaah. Sebagai gantinya ia menunjuk Abu Bakar sebagai imam
shalat. Tenaganya dengan cepat semakin berkurang.
Pada tanggal 13 Rabiulawal 11/8 Juni 632, Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam menghembuskan nafasnya yang terakhir di
rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar, dengan wasiat terakhir, “Ingatlah
shalat, dan taubatlah…”.
Ummul Mukminin
Setelah Khadijah meninggal, Nabi Muhammad menikah
lagi sebanyak 10 kali
, sehingga jumlah wanita yang menjadi istrinya ada 11 orang. Kesebelas
wanita ini disebut sebagai Ummul Mukminin (ibu dari orang-orang yang beriman).
Sebutan tsb menunjukkan bahwa para istri Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
adalah wanita-wanita yang terpilih dan dimuliakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menikahi para
wanita itu karena beberapa alasan, antara
lain untuk melindungi mereka dari tekanan kaum musyrikin,
membebaskannya dari status tawanan perang, dan mengangkat derajatnya. Tidak
jarang pernihakan yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menciptakan
hubungan perdamaian antara dua suku yang sebelumnya saling bermusuhan.
Para
Ummul Mukminin itu adalah:
Khadijah binti Khuwailid
Sa’udah binti Zam’ah
Aisyah binti Abu Bakar as-Sidiq
Juwairiyah binti Haris
Sofiyah binti Hay bin Akhtab
Hindun binti Abi Umaiyah bin Mugirah bin Abdullah
bin Amr bin Mahzum
Ramlah binti Abu Sufyan
Hafsah binti Umar bin Khattab
Zainab binti Jahsy bin Ri’ah bin Ja’mur bin Sabrah
bin Murrah
Maimunah binti Haris
Beberapa dari istri Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam ini juga menjadi periwayat hadist, yaitu Aisyah, Hafsah, dan Zainab
binti Jahsy.
Baca Selengkapnya (http://al-syahbana.blogspot.com) - TAMPILKAN SELALU LINK SUMBER : http://al-syahbana.blogspot.com/2013/01/cerita-nabi-muhammad-saw.html#ixzz30XFj7yoh