1. Siapakah yang Diwajibkan Puasa ?
Puasa diwajibkan atas setiap orang Islam yang baligh, berakal, mukim (tidak bepergian), mampu dan tidak ada penghalang-penghalangnya. Orang kafir tidak diwajibkan puasa dan tidak sah puasa mereka.
(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 43-44. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).
Puasa diwajibkan atas setiap orang Islam yang baligh, berakal, mukim (tidak bepergian), mampu dan tidak ada penghalang-penghalangnya. Orang kafir tidak diwajibkan puasa dan tidak sah puasa mereka.
(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 43-44. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).
2. Puasa Anak Kecil
Anak kecil tidak diwajibkan puasa sehingga baligh, akan tetapi hendaklah dilatih puasa semampunya. Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Pena diangkat dari tiga (golongan). Dari orang tidur sampai bangun, dari anak kecil hingga baligh dan dari orang gila sehingga sadar.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dll dengan sanad sahih).
Anak kecil tidak diwajibkan puasa sehingga baligh, akan tetapi hendaklah dilatih puasa semampunya. Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Pena diangkat dari tiga (golongan). Dari orang tidur sampai bangun, dari anak kecil hingga baligh dan dari orang gila sehingga sadar.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dll dengan sanad sahih).
Seorang anak dikatakan baligh
apabila terdapat padanya salah satu diantara tiga perkara:
a). Keluar air mani. b). Tumbuh rambut keras disekitar kemaluan. c). Mencapai usia lima belas tahun.
Apabila wanita maka ada perkara keempat, yaitu keluarnya darah haidh.
(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 44-46. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).
3. Orang Gila atau Hilang Akal
Orang gila atau orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan puasa dan tidak diharuskan untuk meng-qadha puasanya. Apabila seseorang kadang hilang akalnya dan kadang sadar maka dia diwajibkan puasa ketika sadar saja. Seseorang yang berpuasa lalu pingsan sebentar di siang hari tidaklah batal puasanya.
(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 46-47. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).
Orang gila atau orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan puasa dan tidak diharuskan untuk meng-qadha puasanya. Apabila seseorang kadang hilang akalnya dan kadang sadar maka dia diwajibkan puasa ketika sadar saja. Seseorang yang berpuasa lalu pingsan sebentar di siang hari tidaklah batal puasanya.
(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 46-47. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).
4. Orang Tua yang Sudah Pikun
Orang tua yang sudah pikun dan tidak lagi bisa membedakan yang baik dan buruk tidaklah diwajibkan puasa dan tidak pula diwajibkan membayar fidyah (memberi makan orang miskin) karena dia bukan termasuk orang yang mukallaf (dibebankan untuk melaksanakan kewajiban), hukum orang seperti ini adalah seperti anak kecil. Apabila kadang pikun dan kadang sadar maka diwajibkan puasa ketika sadar saja.
(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 47. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).
Orang tua yang sudah pikun dan tidak lagi bisa membedakan yang baik dan buruk tidaklah diwajibkan puasa dan tidak pula diwajibkan membayar fidyah (memberi makan orang miskin) karena dia bukan termasuk orang yang mukallaf (dibebankan untuk melaksanakan kewajiban), hukum orang seperti ini adalah seperti anak kecil. Apabila kadang pikun dan kadang sadar maka diwajibkan puasa ketika sadar saja.
(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 47. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).
5. Musafir
Allah Ta’ala berfirman: “…dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu.” (QS. Al-Baqarah:185).
Allah Ta’ala berfirman: “…dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu.” (QS. Al-Baqarah:185).
Hamzah bin Amr Al-Aslamiy
–Radhiallahu ‘Anhu bertanya kepada Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala
Alihi Wa Sallam: “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar? –beliau (Hamzah)
adalah orang banyak melakukan puasa-, maka Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa
‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Puasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu
mau.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Anas bin Malik –Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam di bulan Ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Said Al-Khudri –Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Para shahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat lalu puasa itu adalah baik, dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka itu juga baik.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Baghawi dengan sanad sahih)
Yang lebih afdhal bagi musafir adalah melakukan yang paling mudah baginya (berpuasa atau berbuka), dan jika sama saja keduanya maka yang lebih afdhal adalah puasa karena membebaskannya dari tanggungan (hutang puasa) dan lebih bersemangat karena dia puasa bersama-sama manusia.
Apabila puasa itu berat baginya maka hendaklah berbuka dan tidak berpuasa ketika safar. Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 51. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).
Dari Anas bin Malik –Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam di bulan Ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Said Al-Khudri –Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Para shahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat lalu puasa itu adalah baik, dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka itu juga baik.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Baghawi dengan sanad sahih)
Yang lebih afdhal bagi musafir adalah melakukan yang paling mudah baginya (berpuasa atau berbuka), dan jika sama saja keduanya maka yang lebih afdhal adalah puasa karena membebaskannya dari tanggungan (hutang puasa) dan lebih bersemangat karena dia puasa bersama-sama manusia.
Apabila puasa itu berat baginya maka hendaklah berbuka dan tidak berpuasa ketika safar. Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 51. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).
6. Orang Sakit
Orang sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya ada tiga macam:
a). Orang sakit yang tidak berat baginya puasa dan tidak berbahaya, maka diwajibkan atasnya berpuasa karena tidak ada alasan baginya untuk meninggalkan puasa.
b). Orang sakit yang berat baginya puasa akan tetapi tidak berbahaya, maka hendaklah dia berbuka, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu.” (QS. Al-Baqarah:185).
Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah senang didatangi (dikerjakan) rukhsah (keringanan) yang Dia berikan, sebagaimana Dia membenci orang yang melakukan maksiat.” (HR. Imam Ahmad dengan sanad sahih). Dalam riwayat yang lain: “Sebagaimana Allah senang diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan.”.(HR. Ibnu HIbban dll dengan sanad sahih)
c). Orang sakit yang berbahaya baginya puasa, maka wajib atasnya berbuka dan tidak diperbolehkan puasa, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa’: 29). Dan firmanNya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195).
Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya dirimu mempunyai hak atasmu.” (HR. Bukhari).
Beliau –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda pula: “Tidak boleh ada madharat (bahaya) dan tidak boleh menimbulkan madharat.” (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruqthni dll dengan sanad hasan)
Orang sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya ada tiga macam:
a). Orang sakit yang tidak berat baginya puasa dan tidak berbahaya, maka diwajibkan atasnya berpuasa karena tidak ada alasan baginya untuk meninggalkan puasa.
b). Orang sakit yang berat baginya puasa akan tetapi tidak berbahaya, maka hendaklah dia berbuka, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu.” (QS. Al-Baqarah:185).
Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah senang didatangi (dikerjakan) rukhsah (keringanan) yang Dia berikan, sebagaimana Dia membenci orang yang melakukan maksiat.” (HR. Imam Ahmad dengan sanad sahih). Dalam riwayat yang lain: “Sebagaimana Allah senang diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan.”.(HR. Ibnu HIbban dll dengan sanad sahih)
c). Orang sakit yang berbahaya baginya puasa, maka wajib atasnya berbuka dan tidak diperbolehkan puasa, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa’: 29). Dan firmanNya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195).
Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya dirimu mempunyai hak atasmu.” (HR. Bukhari).
Beliau –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda pula: “Tidak boleh ada madharat (bahaya) dan tidak boleh menimbulkan madharat.” (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruqthni dll dengan sanad hasan)
7. Orang yang Tidak Mampu Lagi Berpuasa
Orang yang tidak mampu lagi berpuasa seperti orang yang sudah tua tapi tidak pikun dan orang yang sakit parah dan tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya seperti penderita penyakit kanker dan semacamnya, tidak wajib atas mereka berpuasa karena mereka memang sudah tidak mampu lagi puasa. Akan tetapi wajib atas mereka untuk mengganti pusanya dengan memberikan makan setiap harinya kepada seorang miskin dengan sekali makan. Boleh berupa makanan pokok seperti beras sebanyak satu mud setiap harinya. (satu mud = ¼ sha’ . satu sha’ di Indonesia = 2.5 kilo gram. Jadi satu mud kurang lebih 625 gram).
Dan boleh pula diberikan berupa makanan yang sudah siap dimakan.
Ibnu Abbas -Radhiallahu ‘Anhuma berkata: “Kakek dan nenek tua yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya kepada seorang miskin.” (Riwayat Bukhari)
Dari Anas bin Malik –Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya beliau lemah (tidak mampu untuk puasa karena sudah tua) pada suatu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah tsarid (nama jenis makanan), dan mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga mereka kenyang.” (Riwayat Ad-Daruquthni dengan sanad sahih)
Orang yang tidak mampu lagi berpuasa seperti orang yang sudah tua tapi tidak pikun dan orang yang sakit parah dan tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya seperti penderita penyakit kanker dan semacamnya, tidak wajib atas mereka berpuasa karena mereka memang sudah tidak mampu lagi puasa. Akan tetapi wajib atas mereka untuk mengganti pusanya dengan memberikan makan setiap harinya kepada seorang miskin dengan sekali makan. Boleh berupa makanan pokok seperti beras sebanyak satu mud setiap harinya. (satu mud = ¼ sha’ . satu sha’ di Indonesia = 2.5 kilo gram. Jadi satu mud kurang lebih 625 gram).
Dan boleh pula diberikan berupa makanan yang sudah siap dimakan.
Ibnu Abbas -Radhiallahu ‘Anhuma berkata: “Kakek dan nenek tua yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya kepada seorang miskin.” (Riwayat Bukhari)
Dari Anas bin Malik –Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya beliau lemah (tidak mampu untuk puasa karena sudah tua) pada suatu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah tsarid (nama jenis makanan), dan mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga mereka kenyang.” (Riwayat Ad-Daruquthni dengan sanad sahih)
8. Perempuan Hamil dan Menyusui
Perempuan hamil dan menyusui apabila berat bagi mereka puasa atau khawatir terhadap anaknya maka diperbolehkan untuk tidak puasa dan menggantinya dengan memberikan makan kepada orang miskin setiap harinya tanpa berkewajiban meng-qadha.
Diriwayatkan Ad-Daruquthni dan dishahihkannya dari Ibnu Umar –Radhiallahu ‘Anhuma, bahwasanya beliau berkata: “Perempuan hamil dan menyusui (boleh) berbuka dan tanpa meng-qadha”.
Diriwayatkan Ad-Daruquthni pula dari jalan lain dengan sanad jayyid: Bahwasanya isteri Ibnu Umar –Radhiallahu ‘Anhuma ketika sedang hamil bertanya kepadanya (tentang puasa), lalu beliau menjawab: “Berbukalah dan berilah makan setiap harinya satu orang miskin dan tidak perlu kamu qadha”.
Dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berkata: “Perempuan hamil dan menyusui (boleh) berbuka dan tanpa meng-qadha”. (HR. Ad-Daruquthni dengan sanad sahih)
(“Irwa’ul Ghalil” 4/17-25 Karya Syaikh Al-Albani dan “Shifat Shoum Nabi“ Karya Syaikh Salim Al-Hilaly dan Syaikh Ali Hasan, hlm 80-85)
Perempuan hamil dan menyusui apabila berat bagi mereka puasa atau khawatir terhadap anaknya maka diperbolehkan untuk tidak puasa dan menggantinya dengan memberikan makan kepada orang miskin setiap harinya tanpa berkewajiban meng-qadha.
Diriwayatkan Ad-Daruquthni dan dishahihkannya dari Ibnu Umar –Radhiallahu ‘Anhuma, bahwasanya beliau berkata: “Perempuan hamil dan menyusui (boleh) berbuka dan tanpa meng-qadha”.
Diriwayatkan Ad-Daruquthni pula dari jalan lain dengan sanad jayyid: Bahwasanya isteri Ibnu Umar –Radhiallahu ‘Anhuma ketika sedang hamil bertanya kepadanya (tentang puasa), lalu beliau menjawab: “Berbukalah dan berilah makan setiap harinya satu orang miskin dan tidak perlu kamu qadha”.
Dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berkata: “Perempuan hamil dan menyusui (boleh) berbuka dan tanpa meng-qadha”. (HR. Ad-Daruquthni dengan sanad sahih)
(“Irwa’ul Ghalil” 4/17-25 Karya Syaikh Al-Albani dan “Shifat Shoum Nabi“ Karya Syaikh Salim Al-Hilaly dan Syaikh Ali Hasan, hlm 80-85)
9. Perempuan Haid dan Nifas
Perempuan haid dan nifas diharamkan untuk puasa dan tidak sah puasa mereka. Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda tentang perempuan: “Bukankah jika haid dia tidak shalat dan tidak puasa?” Kami katakan: “Ya.” Beliau bersabda: “Itulah (bukti) kurang agamanya.” (HR. Muslim)
Diwajibkan atas mereka untuk meng-qadha puasa. Perintah meng-qadha puasa terdapat dalam riwayat Mu’adzah, dia berkata: “Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah -Radhiallahu ‘Anha: “Mengapa perempuan haid meng-qadha puasa tetapi tidak meng-qadha sholat?” ‘Aisyah –Radhiallahu ‘Anha balik bertanya: “Apakah engkau wanita Haruriy?” Aku menjawab: “Aku bukan wanita Haruriy, tetapi hanya (sekedar) bertanya.” ‘Aisyah –Radhiallahu ‘Anha berkata: “Kami juga haid pada masa Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam, tetapi kami hanya diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perempuan haid dan nifas diharamkan untuk puasa dan tidak sah puasa mereka. Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda tentang perempuan: “Bukankah jika haid dia tidak shalat dan tidak puasa?” Kami katakan: “Ya.” Beliau bersabda: “Itulah (bukti) kurang agamanya.” (HR. Muslim)
Diwajibkan atas mereka untuk meng-qadha puasa. Perintah meng-qadha puasa terdapat dalam riwayat Mu’adzah, dia berkata: “Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah -Radhiallahu ‘Anha: “Mengapa perempuan haid meng-qadha puasa tetapi tidak meng-qadha sholat?” ‘Aisyah –Radhiallahu ‘Anha balik bertanya: “Apakah engkau wanita Haruriy?” Aku menjawab: “Aku bukan wanita Haruriy, tetapi hanya (sekedar) bertanya.” ‘Aisyah –Radhiallahu ‘Anha berkata: “Kami juga haid pada masa Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam, tetapi kami hanya diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Haruriy nisbat kepada Harura’
(yaitu) negeri yang jaraknya 2 mil dari Kufah, orang yang beraqidah Khawarij
disebut Haruriy karena kelompok pertama dari mereka yang memberontak kepada
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib –Radhiallahu ‘Anhu ada di negeri tersebut.
10. Orang Yang Perlu Berbuka Untuk Menolong Orang Lain:
Adakalanya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kebakaran, tenggelam dan semacamnya sehingga memerlukan orang lain untuk menolong mereka dan yang menolong tidak akan mampu melaksanakan tugasnya apabila dalam keadaan puasa dan iapun harus berbuka agar kuat dan bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, maka orang yang menolong tersebut diperbolehkan berbuka dan bahkan diwajibkan demi menolong orang lain dari kebinasaan. Demikian juga seseorang yang berjihad fi sabilillah dan membutuhkan makan dan minum agar kuat maka diperbolehkan berbuka dan mengantinya (qadha) pada hari yang lain.
(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 59-60. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).
Adakalanya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kebakaran, tenggelam dan semacamnya sehingga memerlukan orang lain untuk menolong mereka dan yang menolong tidak akan mampu melaksanakan tugasnya apabila dalam keadaan puasa dan iapun harus berbuka agar kuat dan bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, maka orang yang menolong tersebut diperbolehkan berbuka dan bahkan diwajibkan demi menolong orang lain dari kebinasaan. Demikian juga seseorang yang berjihad fi sabilillah dan membutuhkan makan dan minum agar kuat maka diperbolehkan berbuka dan mengantinya (qadha) pada hari yang lain.
(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 59-60. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).
http://www.kajianislam.net/2007/08/sepuluh-permasalahan-seputar-puasa-2/
Posting Komentar